"Hanya Orang Korea yang Berhasil" Mengubah Daratan Seluas 1,5 Kali Kota Seoul Menjadi Lautan Hijau [Selamat Pagi, Indonesia!]
Catatan editor:
Bukti nyata dari konsep Bhineka Tunggal Ika, di mana laporan langsung disampaikan oleh koresponden Jakarta pertama yang mendapatkan sertifikasi dari pemerintah Indonesia.
Menuju Perkebunan Pangkalan Bun
Seluruh penjuru daratan dipenuhi dengan warna hijau. Pandangan mata hanya menangkap panorama hijau. Angin berhembus, mengayun lembut di lereng hingga puncak gunung seperti ombak. Menara observasi yang berada di 475 meter di atas ketinggian permukaan luat ibarat kapal di tengah samudera. Pemandangan yang terlihat tampak seperti lautan pepohonan yang jauh dari cakrawala.
Dibutuhkan waktu 1 jam 20 menit naik pesawat dari Ibu Kota Indonesia, Jakarta, ke Pangkalan Bun. Perjalanan berlanjut selama 1 jam 30 menit dengan menggunakan mobil ke arah utara untuk menyaksikan keindahan alam yang luas itu. Perkebunan ini terletak di Kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Pulau Kalimantan (Borneo). Luas area yang ditanami pohon mencapai 63 ribu hektare (ha). Kalian bisa bayangkan, keseluruhan Kota Seoul (6.500 ha) ditutupi dengan hutan lebat yang hijau. Luas area penanaman pohon yang mendapatkan izin untuk digarap mencapai 1,5 kali (94.384 Ha) dari kota Seoul, Korea. Ini tercatat dalam lima perkebunan teratas yang berada di Indonesia.
alan setapak dengan lebar 6-18 meter yang menghubungkan seluruh perkebunan terlihat seperti jaring laba-laba. Panjangnya mencapai 3.700 kilometer (km). Panjang jaraknya sama seperti lima kali perjalanan pulang-pergi antara Seoul dan Busan. Jika dibandingkan pertanian padi, dengan panjang 20-25 meter dan tinggi 1,15 meter, luasan tersebut mampu ‘menampung’ tanaman raksasa setinggi 28 sampai 34 meter Sebelum melihat lokasinya secara langsung, saya tidak bisa membayangkan karena berpikir angka tersebut sangat tidak realistis. Sejarah yang luar biasa ini dibuat oleh orang Korea dengan langkah konsisten selama lebih dari 20 tahun.
isi Penghijauan Korea di Garis Khatulistiwa
Perkebunan di Pangkalan Bun didirikan sejak 1998. Korindo Group, grup yang memimpin PT Hansang, mengembangkan perusahaan lokal (KTH) setelah mendapatkan izin penanaman selama 43 tahun dari pemerintah Indonesia. Merupakan tantangan besar untuk menghubungkan area perkebunan kayu (16ribu ha) dekat Balikpapan, Kalimantan Timur, yang sudah disetujui pada 1993. Menurut Dinas Kehutanan Korea, Balikpapan merupakan area penanaman pohon kedua yang dibangun orang Korea di luar negeri, sementara Pangkalan Bun menjadi area terbesar di luar negeri yang ditanam oleh orang Korea.
Semula, terdapat pertentangan keras dari pihak luar dan dalam. Tidak pernah mudah untuk menanam pohon. Keberhasilannya bahkan tidak dapat terjamin sekalipun sejumlah besar uang diinvestasikan dalam jangka waktu panjang. Faktor besar dan utama atas kesuksesan saat ini adalah kesepakatan penghijauan berkelanjutan yang memelihara dan mengelola hutan, berbeda jauh dari kebiasaan menebang pohon secara sembarang. Program ini juga berkontribusi dalam perlindungan hutan tropis dan mengurangi pemanasan global yang menjadi tujuan utamanya.
Para karyawan tidak keberatan tinggal di daerah terpencil, di mana mereka harus tinggal terpisah dari keluarga. Mereka harus bertahan hidup di wilayah yang penuh hama dan hewan liar yang sewaktu-waktu dapat datang ke tempat tinggalnya. Para pensiunan ahli kehutanan Korea yang tinggal di lokasi selalu memberikan pemahaman dan perhatian kepada mereka. Direktur PT KTH, Bapak Park Jong-myung menyebutkan, “Ada 22 perusahaan yang mendapatkan izin penanaman hutan di Kalimantan, namun hanya Korindo yang mencoba dan berhasil dalam program ini”. Dengan kata lain, hanya orang Korea yang berhasil menjalankan program penghijauan di wilayah khatulistiwa.
Saat ini, KTH memiliki 4.500 karyawan, termasuk 20 orang Korea. Jumlah produksi tahunan mencapai mencapai 1 juta meter persegi. Jenis pohon yang ditanam adalah Eucalyptus pelita, varian asal Australia. Jenis pohon ini memiliki kulit kayu yang tebal sehingga memiliki daya tahan tinggi, sekalipun saat terjadi kebakaran. Bibit yang ditanam selama tiga bulan dapat tumbuh hingga 20-25 meter dengan diameter batang setinggi dada (dbh) sebesar 18-20 centimeter (cm). Seluruh tanaman dibagi ke enam bagian dan setiap bagian akan dipanen tiap tahun. Luasan bagian (section) mencapai 35 kali lebih luas dari area Yeouido. Selanjutnya, perusahaan akan menanamnya kembali di area yang sama.
Di dua lokasi sentra persemaian, proses pemeliharaan bibit berjalan dengan baik. Saat ini, hanya 30 klon Eucalyptus pelita (reproduksi) yang ditanam di lahan ini dengan ID 30 dan ditujukan untuk bahan bakar nabati (biomassa). Sementara itu, bahan baku dengan ID 63 yang dipakai untuk membuat furnitur hanya ada dua buah. Tapi, mulai tahun ini, akan ditambah satu unit, hingga pada tahun 2030 nanti jumlahnya akan bertambah menjadi 10 buah. Proses penelitian dan pengembangan telah berlangsung selama 21 tahun untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan ekosistem sehat demi mengurangi kerusakan akibat hama dan penyakit lainnya. Perkebunan ini memiliki 200 klon pohon. Untuk mendapatkan satu klon pohon membutuhkan waktu selama 10-18 tahun. Klon yang sama harus ditanam di tanah yang berbeda dan menunggu hasilnya. Itu sebabnya perusahaan menempatkan area uji coba di seluruh areal lahan perkebunan.
Proses pembibitan menghasilkan 15 juta bibit pohon per tahun. Daun pada bibit pohon dipotong menjadi 7-8 cm, lalu diletakkan di rumah kaca yang terang selama dua minggu hingga berakar. Setelah akar muncul, pohon ini akan dibiarkan tumbuh sekitar dua bulan. Namun, bibit pohon kuning dan merah terlihat tidak tumbuh dengan sehat. Bapak Jeong Yoon-hwa (41 tahun), manajer di sentra persemaian menjelaskan, “Ini merupakan uji coba pohon untuk beradaptasi dengan kondisi terburuk, seperti dengan memberi sedikit air sebelum dikirim ke lokasi untuk ditanam dan pohon ini dapat bertahan tumbuh di lingkungan yang tandus”. Dia pun menambahkan “Bibit yang agak kebiruan tidak bagus”.
Serpihan kayu untuk pulp, yang digunakan sebagai bahan baku kertas atau tekstil, menumpuk hingga 25 meter di pabrik pengolahan kayu Natai. Lokasinya 50 km di arah selatan dari perkebunan. Ada juga pembangkit listrik tenaga biomassa dengan kapasitas 7,3 megawatt (MW). Bapak Jeong Se-yong, selaku manajer pabrik mengatakan, “Listrik hanya dihasilkan 100 persen dari palet kayu dan aliran listriknya digunakan oleh 23ribu keluarga sesuai standar Korea. Sisa energi listriknya dijual ke perusahaan listrik Indonesia (re: PLN), dan sebagian lagi dipasok secara gratis untuk warga sekitar”.
Pabrik kayu lapis Korindo (KABS) yang terletak 25 km di sebelah selatan jalan, mempekerjakan 1.200 orang karyawan untuk memproduksi kayu lapis cetakan beton untuk diekspor ke Jepang. Jam kerjanya dibagi dalam tiga shift. Kim Ji-han, manajer KABS mengatakan, “Kami berencana untuk mengembangkan dan mengekspor papan lantai 7 mm menggunakan kayu yang dipanen dari hasil perkebunan”.
Warga yang Terlibat Kebakaran Hutan Juga Ikut Menanam Pohon
Perkebunan di Pangkalan Bun juga telah mengubah kehidupan penduduk sekitar. Penduduk yang dulunya membakar area hutan untuk membuka ladang ataupun berburu di dalam hutan kini ikut menanam dan merawat pohon. Ini berkat program Hutan Rakyat. Korindo membayar 7 dolar AS per ton (sekitar KRW 8.300) kepada penduduk yang mengizinkan perusahaan menanam pohon di lahan milik penduduk. Insentif lebih besar dibayarkan jika penduduk mau merawat pohon itu sendiri, yakni 35 dolar AS (sekitar KRW 42.000) per ton. Program Hutan Rakyat yang dimulai pada tahun 2006, kini telah berkembang seluas 5.100 ha, dan penduduk telah memperoleh hasil keuntungan mencapai 760ribu dolar AS (sekitar KRW 900 juta).
Simas (60 tahun), warga desa Topalan berkata, “Dulu sebagian besar penduduk desa membakar hutan di gunung untuk membuka ladang. Dengan diberlakukannya aturan mengenai larangan pembakaran hutan, kami tidak bisa menggarap ladang baru. Namun, setelah menanam pohon, kehidupan kami lebih stabil dan saya menanam lebih banyak pohon. Saya juga merekomendasikan program ini kepada teman-teman saya. Karena ini ada program untuk masa depan kita.” Nur Huda (47ttahun), sambil tertawa mengatakan “Sampai anak saya kuliah, saya tidak khawatir dengan uang. Sekarang, saya membesarkan pohon ini seperti merawat anak sendiri”.
isnis ini memberikan pendapatan lebih kepada penduduk. Sejak tahun 2020, perusahaan telah bereksperimen dengan porang, bahan baku konjak dan nilam, bahan baku parfum Channel No.5. Perusahaan juga mengoperasikan budidaya ulat Dongaedeung (Black Soldier Fly/ BSF) yang memberikan pendapatan tambahan kepada masyarakat melalui program pembuangan limbah makanan yang ramah lingkungan.
Menyaksikan Suaka Orangutan Terbesar di Dunia
Perkebunan di Pangkalan Bun juga berperan dalam melindungi habitat orangutan di Kalimantan. Perusahaan bekerja sama dengan kelompok konservasi orangutan dalam melakukan survei populasi dan menghubungkan jalur ekologi yang menghubungkan kawasan hutan lindung. Taman Nasional Tanjung Puting, terletak 93 km bagian selatan perkebunan yang merupakan suaka bagi orangutan yang terbesar di dunia. Dengan luas 415.040 ha, luasnya enam kali lipat dari kota Jakarta. Tempat ini semakin dikenal setelah kunjungan aktris Julia Robert (1997) dan mantan Presiden AS Bill Clinton (2014).
etelah masuk lebih dalam selama 30 menit dengan naik speedboat dan mengagumi keindahan hutan bakau, saya tiba Camp Tanjung Harapan. Saya mengikuti ranger (petugas taman nasional) yang hendak memberi makan orangutan. Setelah berjalan di hutan sekitar 10 menit, seekor orangutan betina bernama Sandra (28) muncul dengan suara goyangan pohon. Ketika ranger mengeluarkan suara “Auooo…”, Paldo (24) dan Erwin (35) dan 10 orangutan betina lainnya juga muncul. Mereka memakan buah-buahan yang disediakan. Dalam bahasa Indonesia, Orang (orang) yang tinggal di dalam Hutan (Utan sama dengan Hutan). mereka tidak menyebutnya hewan, melainkan orang.
Abu (43 tahun), seorang penjaga taman nasional mengatakan, “Terdapat 33 orangutan dewasa yang sudah diberi nama dan sekitar 40 orangutan lain, termasuk bayi, yang hidup di sekitar sini. Setiap hari, kami memberikan 30 kg makanan untuk menjaga gizi mereka”. Petugas pun melakukan interaksi dengan 10 orangutan dari jarak jauh selama lebih dari satu jam. Kami semua berharap koeksistensi manusia dan alam sebagai tempat tinggal orangutan dapat terus terjaga dengan baik.
Pangkalan Bun dan Tanjung Puting (Kalimantan): Koresponden Ko Chan-yu (jutdae@hankookilbo.com)
Sumber : naver.com
Komentar
Posting Komentar